Senin, 16 Februari 2009

penyebab autisme / gila

inilah penyebabnya:

REPUBLIKA. Minggu, 28 Januari 2001

Vaksin MMR Diduga Sebabkan Autisme

Terkejut, juga cemas. Perasaan itulah yang akhir-akhir ini mengharu biru
sejumlah orang tua yang anaknya pernah divaksin MMR(measles, mumps, and
rubella).Farida misalnya, langsung gemetar begitu membaca berita 'buruk' soal
vaksin MMR di internet. "Aduh, mudah-mudahan anakku nggak apa-apa," tutur ibu
muda yang setahun lalu membawa putri keduanya ke dokter anak untuk mendapatkan
vaksin pencegah penyakit campak, gondongan, dan campak Jerman ini.

Adalah Prof Dr Andrew Wakefield, konsultan gastroenterologis pada Rumah Sakit
Free Royal, London yang pertama kali menyatakan bahwa vaksin MMR bisa
menyebabkan autisme pada anak. Klaim ini didasarkan atas kasus 170 anak yang
datang ke kliniknya.Anak-anak tersebut mengalami sindrom autisme dan penyakit
usus setelah diinjeksi dengan vaksin ini. "Pekan lalu, di klinik kami melihat
sembilan atau 10 anak baru, dengan cerita yang sama. Jadi, semula tumbuh
kembang mereka normal-normal saja, tapi setelah divaksinasi MMR, jadi
autis,"katanya dalam wawancara dengan The Telegraph, akhir pekan lalu.

Autisme sendiri, seperti dijelaskan dr Rudy Sutadi SpA, Wakil Ketua Yayasan
Autisme Indonesia, adalah gangguan perkembangan yang terjadi pada anak sebelum
usia tiga tahun. Pada diri si anak, terjadi gangguan pada kemampuan
berkomunikasi, perilaku sosial dan minat yang terbatas.

Diakui Rudi, memang ada kecenderungan peningkatan angka kejadian autisme
setelah MMR diperkenalkan pada masyarakat sekitar tahun 1960-an. "Angka
kejadian autisme pada akhir tahun 90-an meningkat 30-40 kali dari tahun-tahun
sebelumnya," ungkap spesialis anak dari Jakarta Medical Center (JMC) ini.

Ia juga menjelaskan, gejala autisme umumnya mulai muncul ketika anak berusia
15-18 bulan. Sebab, pada usia ini biasanya si anak telah diberi vaksin MMR.
Asal tahu saja, vaksin MMR biasanya diberikan tatkala anak berusia 15 bulan.

Autisme, katanya, mungkin saja hanya kejadian yang kebetulan bersamaan dengan
mulai diperkenalkannya vaksinasi MMR. Tapi belakangan, penelitian juga
menemukan bahwa vaksin MMR bisa berpengaruh langsung ke otak dengan MBP.

Apa itu MBP? MBP adalah singkatan dari Mielin Basic Protein. Mielin sendiri
adalah zat yang menyelubungi saraf manusia. Ketika vaksin MMR diberikan ke
tubuh, maka tubuh otomatis membentuk antibodi yang kemudian bereaksi dengan
antigen. Reaksi tersebut mengakibatkan pengendapan yang kemudian mencegah
terbentuknyam mielin (proses mielinisasi). "Padahal mielin itu dibutuhkan untuk
memfungsikan saraf. Gangguan ini dikenal dengan penyakit autoimun," terang
dokter lulusan FKUI tahun 1983 ini.

Dan seperti halnya Wakefield, Rudy pun mengaku mendapat keluhan dari sejumlah
orang tua seputar keterlambatan bicara anaknya setelah divaksin MMR. Mental si
anak menurun, misalnya kontak mata anak mereka menurun perlahan-lahan. Tapi ia
mengatakan, tidak semua anak yang diberi vaksin MMR akan menjadi autisme.
Semuanya tergantung pada si anak. "Ada anak yang beresiko tinggi untuk menderita
autisme, ada yang tidak."

Autisme sendiri, jelas Rudy, bukanlah gangguan mental atau orang awam sering
menyebutnya gila. Autisme lebih merupakan masalah neurobiologis. Menurut dokter
yang juga Dosen Luar Biasa Universitas Negeri Jakarta ini, penyandang autisme
mengalami masalah pada beberapa pusat di otak, seperti pusat belajar, pusat
bicara, pusat emosi, sehingga perkembangan otaknya terhambat.

Dijelaskan pula bahwa ada tiga area yang dijadikan titik indikasi autistik,
yaitu area komunikasi, area sosial dan area minat yang terbatas. Kasus yang
sering ditemui adalah terlambat bicara dan kurangnya atau tak ada sama sekali
kontak mata. Anak-anak penyandang autisme biasanya tidak bisa main dengan anak
seumurnya dan tidak bisa membagi kesenangan atau kesukaan pada sesuatu. "Mereka
adalah anak yang pendiam dan terlambat/tidak bisa bicara. Kalaupun bicara
paling kata yang keluar tak ada artinya atau keluar suara yang tak ada arti,
istilahnya babling."

Salah satu penyebab autisme, kata Rudy, adalah faktor genetika. Namun tidak
semudah itu. Belum tentu kejadian autisme tampak secara nyata pada salah satu
keluarga. Bisa jadi dalam keluarga Anda tidak ada riwayat autisme, namun dengan
adanya riwayat keterlambatan bicara bisa jadi merupakan bakat yang dibawa oleh
buah hati Anda. Selain itu bisa saja terjadi gap generasi. Artinya, pada
beberapa generasi di atas Anda tidak ada indikasi autisme, namun autisme tetap
bisa muncul jika berada pada lingkungan dan kondisi yang sesuai.

Selain faktor genetik, perubahan gen juga bisa menyebabkan autisme. Di samping
itu, autisme juga bisa dipengaruhi oleh beberapa faktor lainnya seperti:
infeksi dalam kandungan, atau pengaruh logam berat mercuri pada bayi dalam
kandungan usia 6 bulan. Mengapa pada usia kehamilan 6 bulan? Karena pada usia
itu, sedang terjadi proses perkembangan otak dan saraf. Infeksi jamur pada
wanita hamil seperti keputihan juga berbahaya bagi janin.

Menurut Rudy tiap penyandang autisme mempunyai keunikannya masing-masing,
karena gangguan yang dipunyainya juga berbeda-beda. Namun sekali autisme kalau
tidak ditatalaksana dengan baik maka akan tetap autisme. "Autisme itu dalam
proses, prosesnya jalan terus, kalau didiamkan maka semakin lama perbedaan
antara anak bermasalah dengan tidak bermasalah akan semakin jauh."

Dan kembali pada kontroversi vaksinasi MMR dengan autisme, maka ada dua hal
yang bisa dilakukan para orang tua agar anak tercintanya terhindar dari
penyakit cacar air, gondongan dan campak Jerman, sekaligus pula terhindar dari
autisme. Menurut Rudy, dua hal tersebut adalah: Pertama, para ahli menyarankan
agar menunda pemberian MMR pada anak-anak yang beresiko tinggi menyandang
autisme, yaitu mereka yang di keluarganya ada riwayat penyandang autisme atau
keterlambatan pertumbuhan, seperti riwayat terlambat bicara.

Kedua, pemberian MMR dipecah menjadi tiga bagian masing-masing suntikan untuk
campak, suntikan mumps (gondongan) dan suntikan rubella. Sayangnya hal tersebut
belum dilakukan di Indonesia. mg5

gejalanya pun ada :

Autisme adalah gangguan pervasif pada anak yang ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi dan interaksi sosial. Kata autis berasal dari bahasa Yunani "auto" berarti sendiri yang ditujukan kepada 'seseorang yang hidup dalam dunianya sendiri.

Autisme terkadang terbawa sejak lahir sehingga sulit terdeteksi secara dini karena secara awam terlihat sehat dan normal, baru setelah beberapa bulan bahkan beberapa tahun kemudian baru dikenali kelainan yang mencirikan penyakit autisme. Autisme baru dapat terdeteksi pada anak yang berumur paling sedikit 1 tahun. Pengenalan gejala penyakit autisme dapat dilakukan dengan mengamati dengan seksama perkembangan fisik, emosional dan kemampuan bicara anak. Dari pengamatan yang dilakukan dapat disimpulkan secara naluriah apakah perkembangan fisik, mental dan emosional anak tergolong normal, hiperaktif atau hipoaktif (kurang aktif) bila dibandingkan dengan balita sebayanya. Sekitar 80% dari penderita autis

Gejala-gejala autisme antara lain:

1. Sikap anak yang menghindari tatapan mata (eye contaact) secara langsung

2. Melakukan gerakan atau kegiatan yang sama secara berulang-ulang (repetitive), gerakan yang terlalu aktif atau sebaliknya terlalu lamban

3. Terkadang pertumbuhan fisik atau kemampuan bicara sangat terlambat

4. Sangat lamban dalam menguasai bahasa sehari-hari, hanya mengulang-ulang beberapa kata saja atau mengeluarkan suara tanpa arti

5. Hanya suka akan mainannya sendiri dan mainan itu saja yang dia mainkan

6. Serasa dia mempunyai dunianya sendiri, sehingga sulit untuk berinteraksi dengan orang lain

7. Suka bermain air dan memperhatikan benda yang berputar, seperti roda sepeda atau kipas angin

8. Kadang suka melompat, mengamuk atau menangis tanpa sebab. Anak autis sangat sulit dibujuk, bahkan menolak untuk digendong dan dibujuk oleh siapapun

9. Sangat sensitive terhadap cahaya, suara maupun sentuhan

10. Mengalami kesulitan mengukur ketinggian dan kedalaman, sehingga mereka sering takut melangkah pada lantai yang berbeda tinggi.

Bila 10 - 20 tahun lalu jumlah penyandang autisme hanya 2 - 4 per 10.000 anak, tiga tahun belakangan jumlah tersebut meningkat menjadi 15 - 20 anak atau 1 per 500 anak. Tahun lalu, di AS ditemukan 20 - 60 anak, kira-kira 1/200 atau 1/250 anak.

Di Indonesia belum pernah dilakukan survei, namun para profesional yang menangani anak melaporkan, peningkatan jumlah penyandang autisme amat pesat. Namun tidak diimbangi dengan meningkatnya jumlah ahli yang mendalami bidang autisme, sehingga acapkali terjadi salah diagnosis.

Anak-anak penyandang autisme yang tidak tertangani dengan cepat dan tepat kemungkinan sembuhnya akan semakin kecil karena akan menimbulkan kerusakan jaringan otak yang semakin parah serta dikhawatirkan mereka akan menjadi generasi yang hilang.

walaupun penyebab autisme belum dapat diketahui secara pasti, namun ada beberapa ahli yang menyebutkan bahwa autisme disebabkan oleh multifaktorial sehingga banyak faktor yang mempengaruhi. Hal ini menyebabkan sulitnya memastikan faktor resiko pada gangguan autisme. Terdapat beberapa keadaan yang membuat anak-anak beresiko besar menyandang autisme. Dengan diketahui resiko tersebut tentunya dapat dilakukan tindakan untuk mencegah dan melakukan intervensi sejak dini pada anak. Adapun beberapa resiko tersebut dapat diikelompokkan dalam beberapa periode, seperti periode kehamilan, persalinan dan periode usia bayi. Dengan penyebabnya berupa faktor genetik, Zat darah penyerang kuman ke Myelin Protein Basis dasar, Infeksi karena virus Vaksinasi, kelainan saluran cerna (Hipermeabilitas Intestinal/Leaky Gut),
gangguan neurobiologis pada susunan saraf pusat (otak), zat-zat beracun dari polusi dan kekurangan Vitamin, mineral nutrisi tertentu.

Autisme merupakan gangguan neurobiologis yang menetap. Gejalanya tampak pada gangguan bidang komunikasi, interaksi dan perilaku. Walaupun gangguan neurobiologis tidak bisa diobati, tapi gejala-gejalanya bisa dihilangkan atau dikurangi, sampai awam tidak lagi bisa membedakan mana anak non-autis, mana anak autis.

Semakin dini terdiagnosis dan terintervensi, semakin besar kesempatan untuk "sembuh". Penyandang autisme dinyatakan sembuh bila gejalanya tidak kentara lagi sehingga ia mampu hidup dan berbaur secara normal dalam masyarakat luas. Namun gejala yang ada pada setiap anak sangat bervariasi, dari yang terberat sampai yang teringan. "Kesembuhan" dipengaruhi oleh berbagai faktor: gejalanya ringan, kecerdasan cukup (50% lebih penyandang mempunyai kecerdasan kurang), cukup cepat dalam belajar berbicara (20% penyandang autisma tetap tidak bisa berbicara sampai dewasa), usia (2 - 5 tahun), dan tentu saja intervensi dini yang tepat dan intensif.

Salah satu metoda intervensi dini yang banyak diterapkan di Indonesia adalah modifikasi perilaku atau lebih dikenal sebagai metoda Applied Behavioral Analysis (ABA). Kelebihan metode ini dibanding metode lain adalah sifatnya yang sangat terstruktur, kurikulumnya jelas, dan keberhasilannya bisa dinilai secara obyektif. Penatalaksanaannya dilakukan 4 - 8 jam sehari. Anak dilatih melakukan berbagai macam keterampilan, misalnya berkomunikasi, berinteraksi, berbicara, berbahasa, dll. Namun yang pertama-tama perlu diterapkan adalah latihan kepatuhan. Hal ini sangat penting agar mereka dapat mengubah perilaku seenaknya sendiri menjadi perilaku yang lazim dan diterima masyarakat.

Biasanya setelah 1 - 2 tahun menjalani intervensi dini dengan baik, si anak siap untuk masuk ke kelompok kecil. Bahkan ada yang siap masuk kelompok bermain. Mereka yang belum siap masuk ke kelompok bermain, bisa diikutsertakan ke kelompok khusus. Di kelompok ini mereka mendapat kurikulum yang khusus dirancang secara individual. Di sini anak akan mendapatkan penanganan terpadu, yang melibatkan pelbagai tenaga ahli, seperti psikiater, psikolog, terapis wicara, terapis okupasi, dan ortopedagog.

Permasalahan anak autis di sekolah umum yang menonjol antara lain kurangnya kemampuan berkonsentrasi, perilaku yang tidak patuh, serta kesulitan bersosialisasi. Sebab itu pada beberapa bulan pertama mereka masih memerlukan pendamping di kelas sampau mereka mampu menyesuaikan diri di kelas. Pendamping ini membantu guru mengendalikan perilaku si anak dan mengingatkan anak setiap kali perhatiannya beralih.

Tidak semua penyandang autisme bisa mengikuti pendidikan formal, meski yang tingkat kecerdasannya kurang masih bisa masuk sekolah luar biasa (SLB-C). Bagaimanapun, kalau perilaku si anak tidak bisa diperbaiki: sangat semaunya sendiri, agresif, hiperaktif dan tidak bisa berkonsentrasi, memang ia akan sulit ditampung di sekolah umum karena akan mengganggu tata tertib kelas. Namun hal ini dapat diatasi dengan mem
berikan obat untuk menyeimbangkan neurotransmitter agar lebih responsif dan aware dengan dunia luar setelah itu anak dapat mengikuti proses belajar.

ini gambar2nya :











1 komentar:

Hypnotherapy mengatakan...

Artikel parenting yang sangat bagus. Salam kenal & sukses ......

BOYS II MEN

BOYS II MEN

Skandar Keynes

Skandar Keynes

Arsip Blog